Pemerintah telah menggulirkan Kurikulum 2013 khususnya pada sekolah-sekolah piloting
yang ditunjuk. Sedangkan sekolah-sekolah yang tidak ditunjuk dapat
menerapkan kurikulum baru ini secara mandiri. Penulis sendiri adalah
salah satu guru di Sekolah Dasar swasta yang menerapkan kurikulum 2013
secara mandiri. Sejak awal saya tertarik dengan tulisan Saudari Tri
Marhaeni P. Astuti tentang Memahami Paradigma “Indirect Learning” (Suara
Merdeka, 30 April 2013). Namun saya baru memberikan tanggapan karena
saya ingin mencocokkannya dengan pengalaman di lapangan setelah
mengimplementasikan kurikulum 2013 dalam pembelajaran.
Berdasarkan pengalaman pembelajaran, Kurikulum 2013 dirasa dapat
mengurangi “verbalisme” atau dengan kata lain dapat mengurangi
pembelajaran yang monoton dengan metode ceramah. Alur pembelajaran yang
menerapkan pendekatan scientific dapat membawa siswa menjadi subyek pembelajaran melalui praktik langsung. Pendekatan scientific yang
tercermin dalam kegiatan mengamati, menanya, menalar, mencoba,
menyajikan, dan mengomunikasikan dapat mengubah pembelajaran yang
berpusat pada guru menjadi pembelajaran yang berpusat pada siswa. Alur
pembelajaran tersebut diharapkan dapat menciptakan pembelajaran yang
bermakna sekaligus menanamkan nilai-nilai sikap baik spiritual maupun
sosial.
Kompetensi sikap spiritual dan sosial yang tercermin dalam Kompetensi
Inti (KI) 1 dan 2 dalam setiap Kompetensi Dasarnya tidak memiliki
materi pokok yang diberikan dalam pembelajaran, tetapi diajarkan secara indirect learning.
Setiap guru yang mengimplementasikan kurikulum 2013 harus mampu
menyajikan materi pada KD di KI 3 dan proses pembelajaran pada KD di KI 4
yang mengarah pada pencapaian KD pada KI 1 dan 2 tanpa mengajarkan
secara langsung. Guru serta merta menjadi ujung tombak untuk mencapai
kompetensi sikap spiritual dan sosial pada diri setiap siswa.
Kemampuan guru dalam menghubungkan setiap materi pada KI 3 dan proses
pembelajaran pada KI 4 perlu dibina, karena jika materi dan proses
pembelajaran yang disajikan tidak dikaitkan dengan nilai-nilai spiritual
dan sosial maka kompetensi sikap yang diinginkan sulit untuk dicapai.
Sebagaimana kita tahu bahwa bidang sains dan teknologi masih dipimpin
oleh dunia barat dimana setiap aspek dalam keilmuan yang bersifat ilmiah
bersifat obyektif dan terlepas dari nilai-nilai moral. Maka
pembelajaran scientific yang diterapkan pada kurikulum 2013
dikhawatirkan justru akan membawa semangat barat yang sekuler.
Kekhawatiran ini muncul jika guru tidak dapat mengaitkan pembelajaran
scientific dengan nilai-nilai moral ketimuran yang agamis.
Pengurangan “verbalisme” pada kurikulum 2013 perlu diartikan secara
bijak. Artinya proses pembelajaran yang dilakukan oleh siswa perlu terus
dikawal untuk dapat mencapai kompetensi sikap spiritual dan sosial.
Langkah yang harus diambil oleh setiap guru adalah mencantumkan
internalisasi nilai-nilai spiritual dan sosial dalam pembelajaran.
Meskipun pembentukan sikap siswa dilaksanakan secara tidak langsung
karena tidak ada materi pokok yang diajarkan, tetapi tetap diperlukan
internalisasi nilai-nilai sikap.
Tugas guru bukan hanya membimbing siswa untuk dapat mengasosiasikan
setiap konsep dan proses pembelajaran yang diajarkan sehingga setiap
konsep dapat membentuk konektivitas yang menjadi pemahaman dan penalaran
siswa. Tetapi lebih dari itu guru bertugas untuk membimbing siswa agar
dapat mengasosiasikan antara konsep dan proses pembelajaran dengan
nilai-nilai sikap spiritual dan sosial.
Tantangan yang dihadapi guru dalam pembentukan sikap siswa adalah
adanya pengaruh dari luar, dimana banyak fenomena sosial yang
bertentangan dengan nilai-nilai sikap yang sedang dikembangkan. Contoh
pada KD 1.1 mata pelajaran IPA : “bertambah keimanannya dengan menyadari
hubungan keteraturan dan kompleksitas alam dan jagad raya terhadap
kebesaran Tuhan yang menciptakannya, serta mewujudkannya dalam
pengamalan ajaran agama yang dianutnya”. Dalam Kompetensi Dasar ini
terdapat nilai-nilai berupa sikap spiritual yaitu keimanan dengan
menyadari kebesaran Tuhan dan mengamalkan ajaran agama yang dianut. Maka
guru perlu menginternalisasikan nilai-nilai spiritual ini dalam setiap
materi dan proses pembelajaran pada KI 3 dan KI 4 mata pelajaran IPA.
Tantangan dari luar adalah adanya fenomena sosial segolongan manusia
yang tidak percaya kepada Tuhan yang tentu tidak sesuai dengan fitrah
diciptakannya manusia dan tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila
khususnya sila pertama. Ada pula segolongan manusia yang secara lisan
beriman kepada Tuhan tetapi dalam kesehariannya tidak mencerminkan
sebagai manusia yang beriman dengan meninggalkan konsekuensi dan
kewajibannya sebagai manusia yang beriman. Bahkan banyak fenomena sosial
kemaksiatan yang justru menunjukkan adanya ketidaktaatan terhadap
ajaran agama dan sebaliknya melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama.
Maka guru perlu dengan seksama memberikan internalisasi nilai-nilai
spiritual dan sosial dalam setiap pembelajaran yang dilaksanakan agar
siswa dapat memaknai setiap materi dan proses pembelajaran menjadi
kesadaran untuk menjadi hamba Tuhan yang taat dan sekaligus sebagai
warga negara yang memiliki sikap sosial yang luhur untuk mewujudkan
bangsa yang bermartabat.
Sikap Spiritual dan Sosial sebagai Bekal Generasi Muda
Fenomena sosial masyarakat yang menunjukkan ketidaktaatan terhadap
ajaran agama seperti perbuatan kemaksiatan, kejahatan, dan kezaliman
serta sikap sosial yang tercela seperti kolusi, korupsi, suap, dan
perbuatan tidak bertanggungjawab lainnya diakui atau tidak sangat sulit
untuk diberantas. Menyadari hal ini maka peran guru sebagai pendidik
sangat potensial untuk menyiapkan generasi muda Indonesia menuju suatu
era dimana setiap elemen bangsa mampu mengimplementasikan nilai-nilai
ketuhanan sebagaimana Pancasila sila pertama dengan semangat
keberagamaan yang tinggi. Demikian pula suatu era dimana warga negara
memiliki sikap sosial yang luhur yang melandaskan setiap tindakannya
pada budi pekerti, akhlak terpuji dan mampu menahan diri untuk tidak
melakukan tindakan yang merugikan orang lain, masyarakat atau bahkan
tindakan yang menjadikan bangsa ini terpuruk.
Guru memiliki posisi strategis karena dalam keseharian mereka
memiliki cukup banyak waktu untuk berinteraksi dengan siswa. Guru harus
memanfaatkan setiap momentum pembelajaran untuk menginternalisasikan
nilai-nilai sikap spiritual dan sosial ke dalam benak sanubari siswa dan
memberikan keteladanan yang baik. Setiap siswa yang masih muda belia
membutuhkan model-model warga negara yang mampu menerapkan sikap
spiritual dan sosial yang luhur. Keberhasilan dalam pembentukan sikap
spiritual dan sosial dalam diri siswa akan membantu mewujudkan cita-cita
kita bersama untuk mengangkat bangsa ini menjadi bangsa yang lebih maju
dan bermartabat di masa yang akan datang.
Tidak ada komentar: